Warna Warni 6 Bulan di Jepang
- Ayu Novinda
- Oct 28, 2017
- 4 min read
Tantri Wahyuni, lahir dan tinggal di Jakarta. Ia adalah mahasiswi semester 7 Universitas Negeri Jakarta, jurusan Pendidikan Bahasa Jepang, Fakultas Bahasa dan Seni. Ia mengikuti exchange program dari Osaka University of Economic and Law. Pada awalnya, ketika Kaprodi mensosialisasikan program ini, Tantri tidak tertarik karena program ini sangat jauh kaitannya dengan jurusan yang sedang ia tempuh sehingga sulit untuk menjalani program itu nantinya. Tetapi, melihat antusiasme teman-temannya, ia pun menjadi tertarik untuk mengikuti tesnya. Saat itu, tujuan Tantri sekadar untuk mengukur kemampuannya saja. Namun ternyata, ia justru lolos proses seleksi. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Tantri pun mengambil beasiswa itu meski ia harus menanggung biaya transportasi dan kebutuhan sehari-hari.
Program exchange tersebut berlangsung selama 6 bulan. Tantri tiba di Jepang pada pergantian musim dingin ke musim semi. Meski salju sudah tidak turun, ia tetap kedinginan sampai menderita alergi suhu dingin. Meskipun sempat sakit, ia tidak mau membuang waktunya selama di Jepang untuk diam di kamar. Ia merasa harus tetap semangat menuju ke kampus.
Sistem perkuliahan di Osaka University of Economic and Law tidak jauh berbeda dengan sistem perkuliahan di Indonesia. Hanya saja, Tantri harus bekerja lebih keras dalam membagi waktu karena ia juga harus bekerja. Beasiswa ini tidak meng-cover biaya hidup sehingga Tantri harus bekerja part-time untuk memenuhi biaya sewa asrama dan kebutuhan sehari-hari. Bahasa yang digunakan sehari-hari di kampus adalah bahasa Inggris tetapi ketika di luar kampus, Tantri menggunakan bahasa Jepang karena banyak orang Jepang yang kurang mengerti bahasa Inggris. Suatu waktu, ia pernah mencoba menguji seorang pekerja di kereta. Pertama, ia bertanya dengan bahasa Inggris mengenai arah ke suatu tempat kemudian pertugas itu menjawab dengan simpel dan agak cuek. Ketika Tantri mencoba bertanya dengan bahasa Jepang, barulah petugas itu menjawab dengan ramah dan mau menjelaskannya mengenai rute kereta. Dari situ ia berpikir kalau mereka memang tidak terlalu bisa berbahasa Inggris dan agak malas berkomunikasi dengan orang asing yang tidak bisa berbicara bahasa Jepang. Maka dari itu, pikirnya, akan terasa susah jika ke Jepang hanya mengandalkan bahasa Inggris.
Tantri bekerja sebagai kasir di sebuah toko oleh-oleh. Disana, mahasiswa boleh bekerja part-time dengan durasi waktu maksimal adalah 28 jam per minggu. Penghasilan dari part-time tersebut sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sewa asrama. Untuk sistem gaji, akan dibayarkan setiap dua bulan. Tantri sendiri pernah merasakan suatu kondisi saat persediaan uangnya semakin menipis sedangkan gaji belum diterimanya, sehingga ia pun hanya makan nasi dan abon yang dibawanya dari Indonesia. Beruntung, mahasiswa lain dari Indonesia berbaik hati padanya dengan memberinya mie instan. Disana, mie instan dapat dihargai mencapai 30.000 rupiah satu bungkusnya.
Saat bekerja part-time, Tantri pernah mengalami hal yang kurang menyenangkan. Ada pembeli yang meledeknya dengan tertawa sambil bertanya, “Mana topinya? Nggak pakai topi kayak petani?” Saat itu, Tantri tidak mengerti apa maksud dari pertanyaan konsumen tersebut jadi ia hanya diam. Beberapa hari kemudian, ia melihat ada petani memakai semacam kerudung sebagai tutup kepala dan topi untuk menghindari panas.
Meskipun ada yang bersikap kurang menyenangkan terhadap muslim, tapi banyak orang Jepang yang toleran dan penasaran tentang Islam dengan bertanya-tanya soal puasa dan jilbab. Selain itu, Tantri pernah diajak untuk BBQ karena di Jepang terkenal kalau musim panas mereka mengadakan hanami (piknik di bawah pohon sakura sambil melihat sakura) di taman. Mereka mau menyediakan tempat BBQ dan daging ayam khusus buat muslim yang tidak bisa makan pork. Mereka juga mau menjaga umat muslim untuk sholat di sana supaya tidak ada yang mengganggu. Bahkan jika tempat ibadah jauh, mereka membantu mencari dan mengantar Tantri ke tempat sholat.
Saat Ramadhan, Tantri berpuasa selama kurang lebih 17 jam. Suasana ramadhan tidak akan terasa jika tidak ke masjid. Kendalanya adalah letak masjid sangat jauh, harus ditempuh dengan kereta selama 2 jam dan harga tiket kereta untuk sekali jalan bisa untuk makan sampai 3 kali. Salah satu hal yang membuat Tantri homesick adalah saat lebaran. Ia terbiasa lebaran di rumah bersama keluarga tetapi saat itu ia berkilo-kilo meter jauhnya dari keluarga. Sholat Idul Fitri bersama muslim disana menjadi pengalaman yang paling berkesan untuk Tantri.
Kendala selama di Jepang yang paling Tantri rasakan selama mengikuti program ini adalah soal biaya karena beasiswa yang ia terima tidak meng-cover kebutuhannya secara penuh, sehingga hal itu mengharuskannya untuk menjalani kerja part-time. Selain itu, di Jepang juga cukup sulit untuk mencari makanan halal. Untuk amannya, Tantri membeli bahan makanan dan memasaknya sendiri. Kemudian hal terakhir adalah pentingnya kemampuan berbahasa Jepang karena kebanyakan orang Jepang kurang lancar dalam berbahasa Inggris.
Sepulang dari Jepang, Tantri memiliki impian baru. Sebelumnya, ia ingin lulus kuliah dengan cepat kemudian bekerja dan hidup biasa saja. Setelah dari sana, Tantri jadi ingin melanjutkan kuliah di Jepang, merasakan perjuangan hidup yang sesungguhnya dimana ia harus bangun pagi, naik kereta, pulang kuliah lalu lanjut bekerja, sampai akhirnya pukul 6 pagi pulang dari tempat kerja menuju ke asrama dengan berjalan kaki. Masih banyak hal yang belum ia alami di sana. Ia ingin melanjutkan kuliah di sana kemudian bekerja sebagai translator atau tour guide. Selain itu, ia juga tertarik untuk mempelajari sistem pendidikan di sana.
Pesan Tantri untuk teman-teman yang ingin melanjutkan studi ke Jepang adalah jangan ragu untuk pergi dan belajar ke Jepang, yakinlah semua pengorbanan yang kamu lakukan sekarang tidak seberapa dibandingkan apa yang akan kamu dapatkan.
Penulis : Ayu Novinda
Penyunting : Oktaviana Afanisa
Sahabat Beasiswa Chapter Purwokerto
Reach New Height